7063 Diskusi soal perempuan Betawi di Setu Babakan, Minggu, 23 April 2017. Dalam rangka memperingati Hari Kartini—tokoh yang dianggap menjadi tonggak gerakan emansipasi perempuan Indonesia, Betawi Kita bersama IP2SB (Ikatan Perempuan Pencinta Seni dan Budaya Betawi) menggelar diskusi bertema “Orang Betawi, Perempuan dan Peranannya”. Mayoritaspenduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja Karindingadalah waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing), bagian untuk digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Jika bagian panenggeul dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, Jenazah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Timur Masrawan yang meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di ruas Jalan Trans Kalimantan Desa Sakakajang Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, rencananya dimakamkan di Pulang Pisau. Informasi dari pihak keluarga di Pulang Beberapainformasi dari sumber lokal dan tulisan-tulisan milik Datuk Haji Sirod di Kampung Campaka Loloan Barat menyatakan bahwa kedatangan orang-orang Bugis atau Makasar yang pertama datang tahun 1653 - 1655 Masehi. Kedua pada tahun 1660 - 1661 Masehi yaitu pada waktu terjadinya peperangan antara kerajaan Makasar dengan Kompeni Belanda Merekaberdua adalah orang yang memandu tim Wayang Ajen selama di Perancis. Didier adalah seniman yang menggantikan Cyril Mary. Dirinya bertugas menjadi supir, juga merangkap sebagai penata lighting dan sound untuk setiap pagelaran Wayang Ajen. Tokoh-tokoh dari Buleleng (Bali) dan Sumatra pun tampak hadir. Walau diselenggarakan oleh 4aJv3qK. Berbagai tarian populer di Bali seperti tari Kecak, tari Pendet, tari Puspanjali, dan lain-lain tentunya sudah tak asing lagi di telinga. Namun, siapa sajakah sosok dibalik beragam tarian sohor tersebut? Yuk, simak ulasan mengenai para maestro tarian Bali tersebut. Wayan Limbak Wayan Limbak adalah pencipta dibalik tarian indah tari Kecak. Sekitar tahun 1930an, ia bersama Walter Spies, seorang pelukis Jerman, memodifikasi tarian Sanghyang menjadi tari Kecak yang saat ini kita kenal. Dalam modifikasi tarian tersebut, Limbak dan Spies menyisipkan sebuah cerita yang diambil dari epos Ramayana. Cerita itu menuturkan peristiwa ketika Jatayu dan Hanuman bertempur untuk melawan pasukan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Artikel terkait Yuk, Kenali 5 Tarian “Hits” di Pulau Dewata Selain cerita pertempuran Rahwana, Limbak juga memberikan sentuhan kisah Subali ketika bertempur dengan adiknya, Sugriwa. Dalam mempopulerkan tariannya di kancah nasional maupun internasional, Wayan Limbak membawa grup tarinya ke berbagai festival internasional. Tarian yang dijuluki “The Monkey Dance” tersebut nyatanya tidak mengkhianati kreatornya. Tari Kecak telah berhasil menjadi tarian terpopuler di Indonesia dan dunia. Pada 31 Agustus 2003, Wayan Limbak tutup usia di desa Bedulu, Gianyar, Bali. Ia meninggal di usia 160 tahun, meninggalkan karya yang tak terpisahkan dari Indonesia, khususnya Bali. I Wayan Rindi Siapa yang tak kenal tari Pendet. Tari tradisional Bali ini telah melambung di kancah dunia dan menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang patut diacungi jempol. I Wayan Rindi menjadi pencipta mahakarya yang sempat diklaim Malaysia pada 2009 silam ini. I Wayan Rindi adalah seorang gadis Bali yang sudah memiliki darah seni sejak kecil. Perempuan yang lahir pada 1917 ini gemar mempelajari beragam jenis tarian tradisional. Ia berguru kepada beberapa seniman sohor tari Bali, seperti I Nyoman Kaler pencipta tari Panji Semirang, Margapati, Prembon, I Wayan Lotering, dan I Regog. Artikel terkait Mengenal Lebih Dekat Tari Kontemporer Bali, Tarian “Lepas” di Pulau Dewata Mulanya, tari Pendet hanyalah tarian pemujaan yang dilakukan di berbagai pura di Bali. Namun, berkat gubahan Rindi, tarian ini berhasil dikenal oleh berbagai kalangan hingga taraf internasional, tanpa meninggalkan nilai-nilai sakral dan keindahan budaya bali. Dengan seorang teman bernama I Ketut Reneng, Rindi mengeksplorasi dan menginovasi tarian Pendet Wali yang sebelumnya ada. Hal tersebut tak lepas dari kehebatannya dalam menciptakan gerakan yang indah dan citranya sebagai penari yang termashyur. Kini, tarian tersebut dikenal dengan tari Pendet, yang dilakukan sebagai tari penyambutan selamat datang. I Wayan Rindi wafat pada tahun 1976. Ia meninggalkan ilmu mengenai warisan Indonesia tersebut dan menularkannya kepada ratusan orang yang berguru kepadanya. Ia juga tidak pernah mematenkan tari ciptaannya itu hingga akhir hayatnya. Swasthi Wijaya Swasthi Wijaya Bandem atau Swasthi Wijaya merupakan tokoh dibalik kemashyuran tari Puspanjali. Selain sebagai pencipta, ia juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan tari Puspanjali pada masyarakat Bali. Berkat tangan dingin perempuan kelahiran Mei 1946 ini, terciptalah mahakarya yang bermakna “tarian penghormatan bagi para tamu” tersebut. Artikel terkait Memuliakan Bidadari dari Surga Terakhir di Bumi Dalam penggarapannya, Swasthi Wijaya tidak hanya menyajikan koreografi semata, tetapi juga berkolaborasi dengan I Nyoman Windha sebagai penata musiknya. Kolaborasi kedua seniman profesional itu pun menghasilkan karya tari yang indah dipandang mata. Tersaji keelokan dan kelembutan gerakan wanita Bali ketika menari tari Puspanjali. Pertunjukan yang diperankan oleh 5 hingga 7 penari ini menunjukkan kekompakan yang harmonis. Pada tahun 1977 sampai 1980, Swasthi Wjaya pernah menjadi pengajar tari Bali di Wesleyan University, Connecticut, USA. Kini, ia menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia ISI Denpasar. I Nyoman Kaler I Nyoman Kaler menjadi salah satu tokoh seni yang melegenda. Perempuan asal Denpasar ini lahir dari keluarga seniman. Ayahnya, I Gde Bakta merupakan seniman terkemuka pada masanya. Begitu pula dengan ibu Kaler. Ia merupakan anak dari seorang guru tari dan tabuh bernama I Gde Salin. Tak heran, sejak kecil Kaler berguru tentang seni kepada ayah dan kakeknya. Kaler tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun, kemampuannya dalam baca tulis aksara Bali dan huruf Latin patut diacungi jempol. Kemampuannya tersebut tak lepas dari seni tari dan tabuh yang ia pelajari. Baca juga Semesta Mengakui Sembilan Tarian dari \'Surga Terakhir di Bumi\' I Made Sariada, I Gusti Gede Candu, dan I Made Nyankan merupakan tokoh-tokoh yang pernah mengajarkan seni kepadanya. Ketika berusia 26 tahun, I Nyoman memperdalam tari Legong Kraton pada Ida Bagus Boda. Ia juga semakin mengeksplorasi kemampuan tari dan tabuhnya pada Anak Agung Rai Pahang dari Sukawati, Gianyar. Teknik-teknik mengagumkan yang diajarkan Pahang kepada Kaler pun mampu menjadikan anak didiknya tersebut sebagai pencipta beberapa tarian populer di Bali, seperti tari Margapati, tari Panji Semirang, dan tari Prembon. Ia juga menguasai hampir seluruh alat gamelan di Bali. Atas dedikasinya terhadap seni, ia menerima penghargaan tertinggi di bidang seni, yaitu Wijaya Kusuma, dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1968 dan Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Bali tahun 1980. I Nyoman Kaler telah membesarkan nama Bali di kancah dunia karena beragam mahakarya yang ia ciptakan. I Gede Manik Pesohor seni lainnya yang turut melegenda adalah I Gede Manik. Manik menjadi penabuh dan penari pertama tari Kebyar Legong. Suatu saat, ia menginovasi gerakan tari Kebyar Legong versi lain dengan durasi yang lebih pendek, tetapi tetap memiliki gerakan yang dinamis. Gerakan ini menggambarkan pemuda yang enerjik, penuh emosi, dan berusaha memikat seorang gadis. Baca juga Inilah Sembilan Tari Bali yang Diusulkan Ke Unesco Jadi Warisan Budaya Dunia Awalnya, tarian ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai tari Kebyar Dangin Enjung. Namun, ketika dipertunjukkan di depan Bung Karno dan rekan-rekannya pada 1950 silam di Denpasar, presiden pertama Indonesia itu menamai tarian tersebut dengan tari Trunajaya. Trunajaya bermakna “teruna yang digdaya”, atau “pemuda yang tak terkalahkan”. Sebelum sohornya Trunajaya, Manik sempat menelurkan tarian lain bernama tari Palawakya pada tahun 1925. Ia juga menciptakan Tabuh Singa Ambara Raja dan berbagai tabuh lainnya di Buleleng. Tak heran, ia telah meraih beberapa penghargaan, seperti Anugerah Seni dari Mendikbud RI, Mashuri 1969; Wija Kusuma dari Bupati Buleleng, I Nyoman Tastra 1981; Dharma Kusuma dari Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra 1981, dan Satya Lencana 2003 dari Presiden RI, Megawati Soekarno Putri. PROMOTED CONTENT Video Pilihan 38 BAB III SENI RUPA BALI Sejarah Singkat Seni Rupa Bali Bali masa kini mungkin bisa dilihat dari penampilan Ubud. Desa kecil dengan kawasan hutan kera ini mengalami loncatan peradaban menjadi semacam desa kosmopolitan. Suasana wisata dengan gemerincing dollar yang ramai dengan akses ke berbagai belahan dunia lain tak kalah dibandingkan dengan kota-kota besar, namun ia tetap menjadi bagian dari Bali. Apakah dengan cara melihat seperti itu kita bisa menerima karya - karya para seniman terutama seni lukis masa kini yang, paling sedikit secara fisik, sudah tidak terasa seperti Bali? Bagaimana mungkin dari sebuah kawasan kultural dengan tradisi besar seni rupa bisa muncul lukisan-lukisan asing sebutlah misalnya seperti ekspresionis atau abstrak, yang berpadu dengan lukisan-lukisan di dalam kategori serupa di dalam sejarah seni rupa Barat? Pengaruh besar semacam apa yang mampu mengubah pandangan dunia para seniman yang terdidik ketat di dalam ulah seni tradisi dan hidup di dalam serba tatanan sosial maupun keagamaan, sehingga mau mengadopsi pikiran dan teknik baru? Meski berbau diskriminatif dan eksotik, pertanyaan-pertanyaan seperti itu layak diungkap mengingat perkembangan seni lukis Bali yang terkesan khusus dibanding daerah lain di dalam konteks Indonesia. Bahkan Bali sering lebih dilihat sebagai semacam enklave yang mempunyai alur perkembangannya sendiri, seolah-olah negeri pulau itu terbebas dari hubungan dengan dunia luar biarpun itu namanya Jawa atau Sumatera. Dasar kelayakannya juga bertumpu pada kenyataan, bahwa apa yang dilihat sebagai tradisi besar seni lukis mereka masih berlangsung sampai sekarang, dicerna dan dilanjutkan oleh para seniman berbakat berusia remaja-meski tentu dengan perubahan evolutif di sana- sini. Dalam hal ini para seniman masih bekerja dengan pandangan dunia clan cara-cara yang kurang lebih sama dengan para pendahulunya di Kamasan, Tebesaya, Batuan, atau Sanur. Karya-karya para pelukis tradisional ini dengan seketika bisa dikenali sebagai lukisan Bali, baik itu berupa lukisan wayang gaya klasik, mitologi, atau dongeng rakyat, maupun lukisan pemandangan kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan karya-karya seperti inilah, lukisan-lukisan baru yang dihasilkan para seniman rnasa kini menjadi jauh dari Bali. 39 Sempat beredar pandangan, misalnya, bahwa sejarah seni rupa Indonesia modern adalah sejarah seni rupa Indonesia tanpa Bali, karena Bali mesti diperlakukan secara berbeda mengingat tradisi dan perkembangannya yang khas. Pandangan itu terkait dengan anggapan bahwa tradisi Bali yang begitu kuat, yang salah satu elemen pendukungnya adalah sifat kolektif, menghambat para senimannya untuk berkarya di dalam ruang seni modern yang mementingkan pencarian jalan dan ungkapan baru serta mengutamakan gerak individualistik. Sejarah seni rupa Indonesia hampir selalu ditelaah sebagai rentetan peristiwa- peristiwa bukan Bali. Sejarah tersebut ditandai terutama oleh perkumpulan seni Persagi yang berdiri tahun 1937, kiprah para empu yang menjadi lokomotif perkembangan sampai tahun 1980-an bahkan 1990-an, peran pendidikan seni rupa di ITB Bandung dan ASRI Yogyakarta yang sejak tahun 1950-an menandaskan pandangan-pandangan kesenian dan terutama kebebasan berekspresi seluasnya, sampai Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975 yang memperluas khazanah pemikiran dan menawarkan dataran pemikiran yang sama sekali baru. Peran Gerakan Seni Rupa Baru ini memungkinkan perkembangan seni rupa menjadi sedemikian rupa di dalam ragam pemikiran dan gaya ungkap seperti marak belakangan ini. Sementara riwayat perkembangan seni lukis Bali di dalam satu abad abad terakhir lebih dikenal terutama lewat perubahan mencolok dari ekspresi religius sebelum tahun 1900-an, ke pengaruh kelompok Pita Maha tahun 1930-an sampai 1950an, kemudian muncul beragam gaya ungkap lewat kelompok Sanggar Dewata tahun 1970-an, sampai penampilan mutakhir para seniman muda yang kini masih sekolah di perguruan tinggi seni yang sulit dibedakan dari penampilan rekan-rekannya dari daerah lain. Salah satu perkara yang menarik adalah potongan waktu yang sungguh-sungguh semasa, yaitu pada tahun 1930-an. Ketika itu di kedua wilayah kebudayaan tersebut aktivitas pemikiran dan praktik kesenian secara baru tengah gencar dilakukan, namun menunjukkan tanda-tanda tidak saling terhubung. Di Pulau Jawa sejalan dengan arus besar kaum pergerakan nasional, Sudjojono dengan Persagi gencar mengganyang cara berkesenian Mooi Indie dan menawarkan pikiran-pikiran progresif yang memicu aksiaksi penyadaran kebangsaan. Di Bali, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Tjokorda Gede Agung, membongkar konsep dan fungsi karya seni religius dan menempatkannya ke ruang profan, yang bermuara pada perluasan tema pada obyek sehari-hari. Mereka menyurutkan semangat kolektif menjadi individual. Aktivitas lewat Pita Maha itu juga mengenalkan nilai komersial dari karya seni, karena perkumpulan seni ini berperan sebagai semacam koperasi untuk menjual karya - karya para anggotanya. Lahirlah sejumlah seniman yang kemudian dikenal sebagai pelukis- 40 pelukis Bali dengan semangat dan pandangan baru seperti, misalnya, Dewa Putu Bedil, Anak Agung Gde Sobrat, Gusti Ketut Kobot, atau Ida Bagus Made Poleng. Kelak dinamika kebudayaan ini melahirkan lukisan-lukisan genre, yang menunjukkan eksistensi seni lukis baru di Bali seperti gaya Ubud dan gaya Batuan. Potongan waktu lain yang menarik adalah akhir tahun 19S0-an dan 1960-an ketika peran pendidikan tinggi kesenian di Yogyakarta mulai menghasilkan sejumlah seniman yang kelak berpengaruh dalarn perkembangan seni rupa di Indonesia. Sebutlah itu seperti Widayat, Abas Alibasjah, Edi Sunarso, Fadjar Sidik, dan generasi berikutnya seperti Aming Prayitno, Subroto SM, Suwadji, Y Eka Suprihadi. Merekalah para modernis terkemuka pada masanya. Pada masa itu pulalah lahir seniman-seniman asal Bali hasil godokan perguruan tinggi seni yang sama. Generasi pertama mereka adalah Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Gede Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Arsana. Semasa mahasiswa di Yogyakarta, mereka pada tahun 1970 mendirikan sebuah perkurnpulan yang mereka sebut Sanggar Dewata Indonesia. Dalam wawancara pada bulan Februari 2001 di rumah Wayan Sika di Bali dan Mei 2001 di rumah Nyoman Gunarsa di Bali, keduanya mengungkap bahwa peran penting Sanggar Dewata Indonesia adalah merangsang penciptaan seni masa depan dengan memadukan model estetika Barat modern dengan nilai-nilai tradisi dan ciri-ciri Bali. Sika menjelaskan ciri-ciri Bali itu merupakan perekat historis dan kultural. Gunarsa mengatakan, mereka menggali nilai-nilai etnik dengan kesadaran pengetahuan, yang merupakan visi baru yaitu corak Indonesia. Sebenarnya mereka berenam bukanlah orang- orang pertama yang merantau dan mendapat wawasan serta keterampilan baru. Nyoman Tusan, seorang lelaki kelahiran Desa Tejakula, Buleleng, lebih dulu melakukannya dengan bersekolah di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung antara tahun 1954 dan 1961. la menggarap tema-tema Bali dengan pendekatan kubistik seperti gaya Picasso, tak jauh dari penerapan sikap modernis dengan memanfaatkan ikon-ikon budaya lokal. Sikap modernis Nyoman Tusan tidak banyak berpengaruh pada arus besar seni lukis Bali ketika ia pulang ke kampung halaman. Namun, para seniman Sanggar Dewata Indonesia berhasil menjadi motor dari gerakan seni rupa baru di Bali. Menurut pengamat budaya Putu Wirata dan Jean Couteau, pengaruh para alumni ASRI itu cukup besar di kalangan seniman muda di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Denpasar maupun Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana di Denpasar. Salah satu gaya mereka yang disebut abstrak ekspresionis bahkan menj adi arus utarna baru di dalam wacana seni rupa di Bali ketika kalangan seni rupa mengelu-elukan seni rupa kontemporer. Itulah sebuah wacana yang mengandung pemikiran estetik, paradigma, kesepakatan, maupun spirit rekomendasi 41 kecenderungan tertentu, yang justru menyangkal kepercayaan modernis sehingga sering disebut seni rupa post-modern. Kedua potongan waktu itu memperlihatkan bahwa perubahan terjadi ketika tradisi yang begitu kuat itu berkenalan dan berbenturan dengan pandangan, pikiran, dan cara kerja yang baru, yang datang dari luar. Walter Spies dan Rudolf Bonnet adalah dua eksponen penting yang memicu perubahan yang signifikan di dalam konteks waktu itu, tahun 1930-an. Apakah peranan seperti kedua orang asing itu pada masa sesudahnya, tahun 1960-an dan 1970-an serta dekade berikutnya, digantikan oleh pendidikan fonnal akademis yang membuka cakrawala pemikiran para seniman berbakat tersebut? Walter Spies, Rudolf Bonnet, yang bersama seorang bangsawan Tjokorda Gede Agung mendirikan Pita Maha, berperan sebagai agen perubahan lewat beberapa segi, yaitu konsep, kemudian pilihan tema, dan teknis pelaksanaan. Dalam hal konsep seperti telah disebut di muka, mereka menggeser konsep dan fungsi karya seni yang semula berada di ruang-ruang religius ke arah ruang-ruang profan. Perubahan seperti ini bersifat fundamental, menyangkut alam pikiran, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan orang Bali. Kaitan erat antara seni dan kepercayaan agama di dalam konteks Bali memang sedemikian rupa sehingga pergeseran semacam ini membutuhkan daya saran yang kuat dari pihak pengubah dan keterbukaan yang cukup besar dari para seniman setempat. Perubahan ini kemudian bermuara pada perluasan tema sehingga obyek sehari-hari menjadi layak untuk tampil di dalam kanvas mereka. Para seniman ini kemudian juga mempelajari anatomi, gelap dan terang, perspektif, dan horison, melengkapi pengamatan mereka atas kehidupan sehari-hari. Salah satu ciri penting pada gaya seni lukis Ubud yang terlahir kemudian adalah keterampilan melukiskan anatomi manusia yang digambarkan mendekati realistis, dengan pembentukan figur yang volumetris-belakangan terkadang dituding ke-Bonnet-an mengingat kekhasan karya-karya Bonnet terwakili di sana. Pengaruh yang terjadi pada para pelukis dari kawasan Desa Batuan adalah kebebasan yang lebih di dala,m menuangkan gagasan, dengan tema serupa yaitu kehidupan sehari-hari tersebut. Pada lukisan Batuan lebih muncul, misalnya, pesawat terbang atau sosok Bung Karno di tengah masyarakat Bali, pelancong sedang berselancar di laut. Kanvas mereka umumnya terkesan sesak dengan figur dan benda, berbagai adegan maupun narasi bisa sekaligus tumpah di dalam satu kanvas. Sejumlah seniman hasil didikan perguruan tinggi membuat perbedaan tajam dengan mereka yang tidak mendapat pendidikan formal tersebut. Mereka mengalami semacam pencerahan lewat percaturan terutama intelektual, pengayaan pengetahuan tennasuk konsep dan filsafat seni, maupun cara-cara baru di dalam penerapan teknik melukis. Satu faktor lain adalah, bahwa untuk itu mereka perlu merantau ke 42 Yogyakarta, yang rnungkin bisa dibaca bahwa perantauan mereka juga berlangsung secara nonfisik lewat pengembaraan ke arah faham-faham serta wacanawacana baru. Kemampuan mengambil jarak seperti ini tampaknya khas mereka yang masih tinggal di kampung halaman atau basis kulturalnya menjadi kurang berkembang. Dugaan seperti ini dibenarkan lewat sejumlah wawancara dengan Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Made Dj irna, Nyoman Erawan, IGN Nengah Nurata, serta sejumlah seniman yang lebih muda seperti Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Mahendra Toris, IGN Udiantara, I Made Arya Palguna, I Wayan Sudarna Putra, dan Anggreta. Beberapa tokoh generasi pertama seniman Bali yang mendapat pendidikan formal akademis ini tampil dengan wajah baru, yang berbeda dengan para pendahulu mereka namun masih menampakkan ciri-ciri budaya lokal mereka. Sebutlah itu seperti Nyoman Gunarsa, yang tenar dengan pokok masalah para penari Bali maupun figur-figur wayang, dengan pendekatan yang ekspresif. Tidak ada kebutuhan padanya untuk menggambarkannya secara rinci, bahkan sering tertinggal hanya kesan gerak, karena ia mengutamakan irama yang terbentuk lewat sapuan-sapuan yang berkarakter kuat. Wayan Sika muncul dengan ikon-ikon budayanya dengan gaya abstrak ekspresif. Made Wianta sempat menekankan ke-Bali-an lewat permainan garis hitam putih yang mengingatkan orang pada model reraja ha n atau kaligrafi Bali serta memanfaatkan filosofi Hindu di dalam sejumlah karya, termasuk untuk karya-karya instalasi maupun performance a rt. Namun di dalam sebagian karya-karyanya ia menyempal dari tipikal perpaduan antara modern Barat dan ciri Bali ini. Kekhasan semacam itu masih bisa terlacak pada para seniman yang lebih muda, seperti Nyoman Erawan, yang meminjam ikon-ikon Hindu balk warna maupun bentuk di dalam sejumlah karyanya. Pendekatan serupa tetap ia gunakan ketika membuat karya-karya instalasi maupun performance a rt. Lihatlah karyakarya IGN Nengah Nurata yang memberi suasana surealistik pada figur-figur mitologis yang terasa Bali. Begitu juga gaya ekspansif Made Budianta. Bahkan pelukis angkatan tahun 1990-an seperti Mahendra Toris memanfaatkan warna poleng di tengah sapuan kuasnya yang bergelora. Contoh seperti itu bisa muncul di dalam karya-karya Made Sukadana, nama populer di kalangan kolektor dan pedagang seni di Jakarta, dengan gaya yang ekspresif namun masih menyisakan sosok-sosok yang mengingatkan orang akan Bali. Sebut pula pelukis seperti Nyoman Sukari, yang di tengah gaya abstrak ekspresionisnya tiba-tiba menampakkan wajah barang atau ikon-ikon budaya lain. Bagaimana dengan tokoh kuat seperti I Made Djirna? Perjalanannya telah jauh, antara lain dengan memanipulasi jajaran manusia di dalam kanvas berwarna kecoklatan dan bersuasana dingin. Pande Ketut Taman rnemanfaatkan karakter sosok-sosok manusianya sebagai wajah orang kebanyakan, yang efektif untuk mengungkap 43 pandangan-pandangan keseharian maupun politis. Putu Sutawijaya yang memainkan bentuk- bentuk tubuh manusia, terkadang hanya wajah, yang temanya bernuansa politis. Yang tak kalah menarik adalah kenyataan munculnya karya-karya para pelukis lebih muda, yang boleh dikata terlepas dari kaitannya dengan ke-Bali-an mereka. Gaya Sumadiasa dengan sapuan-sapuan besar di dalam karyanya yang cenderung abstrak sulit mengingatkan orang pada tradisi seni lukis Bali. Mangu Putra dan Suklu dengan penguasaan gambar bentuk yang tinggi dan kemampuan menyiasati ruang. Lihatlah fenomena badut di dalam kanvas Sudarna Putra, yang menampilkan badut dan sosoksosok yang jelas bukan Indonesia apalagi Bali dengan pewarnaan keabuan. Lihat lukisan Masriadi dan Palguna yang menarnpilkan penggayaan dan pemilihan bentuk figur-figurnya yang unik, yang dengan serentak juga memungkinkan kebebasan luas di dalam menyodorkan tema termasuk memasuki kawasan sosial politik yang sempat menjadi pokok di kalangan para perupa muda Indonesia umumnya. Anggreta menampilkan figur-figur manusia dengan deformasi yang menarik untuk mengungkap persoalan sehari-hari yang ia akrabi. Para seniman dari generasi baru Sanggar Dewata Indonesia ini memang bermain pada dataran pemikiran dan keterampilan yang sama dengan rekan seangkatan mereka lainnya. Pada masa mereka ini mungkin sejarah seni rupa Indonesia tak perlu lagi didekati dengan cara memilah Bali dan Indonesia selebihnya. Infrastruktur Ruang Pamer Seni Rupa Di Ubud Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika DENPASAR - Enam orang seniman dan budayawan dari Bali menerima anugerah pengabdi seni tahun 2021 yaitu Adi Sewaka Nugraha. Hadiah ini diserahkan secara langsung oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster. Keenam seniman yang mendapatkan Adi Sewaka Nugraha merupakan bentuk apresiasi pemerintah Provinsi Bali, atas pengabdian dan dedikasi para seniman dan budayawan yang tanpa kenal lelah dan putus asa dalam hal pelestarian, pembinaan, dan pengembangan seni budaya Bali. “Proses pemberian penghargaan didasari atas usulan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Seni, Lembaga Pendidikan, seperti ISI, UMHI maupun instansi lainnya, untuk kemudian diseleksi oleh tim penilai dan selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Bali,” kata Kadisbud Provinsi Bali Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha. Penerima Adi Sewaka Nugraha memberi gambaran mengenai perjalanan berkesenian yang telah dilakoni serta semangat ngayah dalam berkesenian oleh para seniman dan budayawan. Penerima Adi Sewaka Nugraha ini diberikan piagam penghargaan dan uang tunai masing-masing sebesar Rp Baca juga Denpasar Raih Juara I Lomba Busana Adat Kerja dan Busana Casual pada PKB XLIII Keberadaan Adi Sewaka Nugraha ini diharapkan mampu menggelorakan semangat beraktivitas para seniman maupun generasi selanjutnya untuk menggali, melestarikan, membina dan mengembangkan seni budaya Bali serta penciptaan karya-karya seni yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Enam seniman penerima Adi Sewaka Nugraha adalah Ni Ketut Arini maestro tari dari Denpasar, I Nyoman Sujena seniman tari dari Desa Antosari, Tabanan, I Wayan Suweca seniman karawitan dari Gianyar, I Ketut Suarna Dwipa seniman tari dari Desa Tejakula, Buleleng, Ida Nyoman Sugata seniman pedalangan dari Karangasem dan I Ketut Gede Rudita seniman karawitan dari Kabupaten Badung. Sosok Ni Ketut Arini sudah tak asing lagi di dunia tari Bali. Perempuan kelahiran Banjar Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kota Denpasar, 15 Maret 1943 ini dikenal sebagai salah seorang maestro tari Bali, khususnya Tari Condong. Baca juga Didesain Kedux Garage, Dua Patung Sang Kala Trisemaya Akan Hiasi Jalan Gajah Mada Denpasar I Nyoman Sujena memerankan tokoh Bima, bagi pecinta kesenian Bali 1980-an hingga 1990-an, tentu masih ingat dengan kesenian sendratari Mahabrata. Tokoh pentingnya, Bima dan Sekuni. Setiap kali sendratari produksi Pemerintah Provinsi Bali itu dipentaskan, panggung terbuka Ardha Chandra yang berkapasitas lebih dari penonton itu selalu penuh sesak. Penonton menunggu-nunggu aksi apik tokoh Bima dan Sekuni. Selanjutnya, I Wayan Suweca justru terkenal sebagai seniman karawitan. Kadek Suartaya. BP/IstimewaOleh Kadek SuartayaMasyarakat dunia telah mengenal Bali sebagai Pulau Kesenian. Penulis buku ’Island of Bali’’ 1937, Miguel Covarrubias, menyebut semua orang Bali adalah seniman. Ritual keagamaan yang tiada henti bergulir sambung-menyambung sepanjang tahun di Pulau Dewata, senantiasa disertai dengan keindahan kehidupan penduduknya dengan adat dan tradisi yang lestari, tak pernah jeda dengan lantunan suara gamelan di seluruh penjuru pulau. Namun tahun 2020 adalah hari-hari senyap bagi kesenian sembilan bulan terakhir ini, sumringah kesenian Bali kuyu layu. Wabah Corona yang mencengkeram jagat, memasung segala aktivitas seni. Kegiatan berkerumunan yang dibatasi, bahkan dilarang, mengekang penampilan beragam ekspresi seni. Seni pertunjukan yang merupakan bagian penting dalam ritual keagamaan, sebagai tontonan masyarakat, dan atraksi seni yang diminati wisatawan, tersungkur di pojok teronggok pegiat seni yang tulus melakoni kesenimanannya dan profesionalitasnya termangu sedu. Kegetiran nan menggelisahkan seperti ini belum pernah terjadi pada dunia seni di tengah masyarakat yang ber-’DNA’’ seni Bali pada umumnya, gundah walau harus pasrah. Peristiwa kesenian keagamaan yang terjegal oleh malapetaka Covid-19 di tahun 2020 adalah kreativitas seni ogoh-ogoh pada hari raya Nyepi di bulan Maret dan persembahan ngelawang hari raya Galungan dan Kuningan di bulan yang telah dipersiapkan oleh anak-anak muda Bali sejak sekitar awal Januari, saat ritual pangerupukan — sehari jelang Nyepi — tak berkesempatan diarak. Ogoh-ogoh yang menggambarkan karakter menyeramkan, membisu pula saat Galungan-Kuningan pada pertengahan September, sajian ngelawang aneka bentuk barong yang lazim dibawakan para remaja, tak tampak berkeliling desa menyambangi penonton. Ritual atau pentas seni nomaden yang ditunggu-tunggu masyarakat Bali ini tak hadir memberi rahmat dan menyuguhkan ritual keagamaan dalam konteks panca yadnya, selain memiliki arti esensial dalam prosesi upacara, juga sebagai wahana ngayah persembahan bakti. Namun dewa yadnya yang memberi ruang luas pada suguhan seni, di tahun 2020 begitu merana di bawah teror Corona. Kumandang kidung suci yang dibawakan sekaa pesantian tak terdengar alunannya. Denting gamelan Slonding yang wingit hingga sajian teduh lelambatan Gong Gede tak tampak unjuk beragam variasi tari Rejang yang lestari di seluruh Bali tersipu diam. Juga teater Topeng Sidakarya sebagai ungkapan legitimasi sebuah ritual keagamaan, tidak unjuk tutur berkisah dan berpetuah di hadapan masyarakat religius Bali. Begitu nelangsanya kesenian Bali di tengah kecemasan akibat grubug dunia ketika bencana atau wabah penyakit menerjang masyarakat Bali, justru merebak fluktuasi kehadiran kesenian tolak bala. Kesenian peninggalan zaman prasejarah ini, yaitu beragam tari Sanghyang, diusung takzim sebagai pelindung masyarakat, tampil dalam atmosfer magis. Sanghyang Dedari di Bali Selatan, Sanghyang Memedi di Bali Utara, Sangyang Bojog di Bali Barat, Sanghyang Celeng di Bali Timur, dan Sanghyang Jaran di Bali Tengah adalah simbolisme transedental yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit atau menetralisir kecemasan, menghalau ketakutan yang tetapi kini, di tengah penerapan protokol kesehatan, physical distancing dan social distancing, tidak terlihat adanya komunitas masyarakat yang berserah diri akan keselamatannya, mohon perlindungan Hyang Widhi lewat perantara tari luar sajian seni yang berkaitan langsung atau tak langsung dengan aktivitas keagamaan, masyarakat Bali menyayangi seni sebagai balih-balihan. Dalam bingkai ini, kesenian Bali ditempatkan sebagai tontonan presentasi estetik yang bermuatan tuntunan. Nasibnya di tahun 2020 ini juga memilukan. Gemulai eloknya tari Legong, merdunya tembang yang dikisahkan dramatari Arja, dan kenes menterengnya seni kebyar — untuk menyebut sebagian kecil dari seni balih-balihan — semuanya pada tiarap istirahat tanpa penonton pun kehilangan asupan batin, melakoni hari-hari nestapa kehidupan dengan nurani gersang. Sebab, jagat seni bagi masyarakat Bali bukan sekadar tontonan namun juga membinarkan tuntunan yang mencemeti optismisme betapa kesenian merupakan representasi semangat kehidupan dapat ditelusuri pada arena berkesenian yang dikenal dengan Pesta Kesenian Bali PKB. PKB 2020 yang urung diselenggarakan akibat wabah Covid-19, sungguh ’kejam’’ menelikung semangat para insani seni dan masyarakat penonton pecinta seni. Bagaikan petir di siang bolong, tanpa berkabar, pagebluk yang menyeringai mengancam penduduk dunia, ’meluluhlantakkan’’ perhelatan seni yang semestinya berlangsung pada bulan pegiat seni di seantero Bali, tertegun dan termangu, menghadapi pembatalan forum seni bergengsi yang telah bergulir sejak tahun 1979 tersebut. Persiapan yang telah dilakukan jauh-jauh hari dianulir oleh malapetaka yang tidak kenal kompromi. Semangat kehidupan berseni budaya, menenun kemuliaan peradaban bangsa, sementara mesti dikendurkan, berharap suatu saat jika wabah telah sirna, kembali menggeliat adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

tokoh yang mengatakan mayoritas orang bali adalah seniman yaitu